Home » » Mengapa Penetapan Idul Fitri Berbeda

Mengapa Penetapan Idul Fitri Berbeda

Mengapa Penetapan Idul Fitri Berbeda – Penetapan Idul Fitri dan Idul Adha sepertinya sudah mennjadi masalah klasik di negeri ini, namun sayang sedikit dari kita yang benar benar mau belajar dasar penyebab perbedaan penetapan tersebut, sehingga perkataan atau pendapat yang kesal atau bahkan mengumpat pihak lain masih terus terjadi.

Sebenarnya ada 2 permasalahan dasar mengenai penyebab perbedaan tersebut. Yang pertama yaitu cara menentukannya. Permsalahan ini kita sering jumpai antara Muhammadiyah dan NU. Yang kedua yaitu yang namanya Mathla’ (tempat muncul hilal). Masalah ini yang biasanya akan menyebabkan pertanyaan seperti “Kok di negara A sudah lebaran besok, di kita belum ?” “Kenapa gak ngikutin Arab Saudi aja ?” dan semacamnya.


Cara Menentukan Hilal

Kita bahas yang pertama dulu yang sering menjadi “perbincangan hangat” antara Muhammdiyah dan NU. Sebelum di jelaskan lebih lanjut, berikut dasar Hadist yang sama sama di gunakan kedua ormas tersebut:

1.      Hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ”Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilan bulan Syawal). Jika kalian terhalang, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)

2.       Hadis dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ” Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri)
dan satu bulan itu 29 hari." (HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa'I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425, dan di Shahih kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)

3.      Hadits dari 'Adi bin Hatim radhiallahu 'anhu
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : "Apabila datang bulan Ramadhan, maka berpuasalah 30 hari kecuali sebelum itu kalian melihat hilal." (HR. At-Thahawi dalam Musykilul Atsar 105, Ahmad 4/377,Ath-Thabrani dalam Ak-Kabir 17/171 dan lain-lain)

4.    Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : "Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan (ru'yah hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian karenanya." (HR. An-Nasa'I 4/132, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab dari sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan Syaikh Salim Al-Hilali serta Syaikh Ali Hasan. Lihat Shifatus Shaum Nabi, hal. 29).

Berdasarkan hadist hadist di atas, ada 3 cara yang di gunakan pada zaman Rasulullah untuk menetapkan Hari Raya Idul Fitri:

1.      Ru’yah hilal (melihat bulan sabit)
2.      Persaksian atau kabar tentang ru’yah hilal dengan syarat Islam dan adil.
3.      Menyempurnakan bilangan tiga puluh hari.

Terdapat perbedaan penafsiran antara NU dan Muhammdiyah mengenai kata “melihat”. NU berpendapat, “melihat” yang di maksud adalah melihat secara langsung, Namun Muhammdiyah berpendapat ra’a atau “melihat (menurut bahasa)” tidak meululu melihat dengan mata telanjang, namun dapat diartikan berpikir, sehingga bisa di artikan bolehnya menetapkan bulan dengan hisab.

Kok bisa begitu ?......Sampai saat ini saya belum bisa menemukan dasar pendapat tersebut, mungkin bagi yang tahu bisa menambahkannya di komentar.

Hal tersebut yang menjadi akar permasalahan hingga sampai saat ini, yaitu cara menafsirkan ra’a atau “melihat (menurut bahasa)”. Ke depannya, Muhammadiyah lebih mengedapankan hisab dari pada rukyah atau melihat langsung, sehingga berapa pun posisi bulan (berdasarkan hisab) jika melebihi 0 derajat, maka bertanda memasuki bulan baru. Sedangkan untuk bisa di lihat mata secara langsung, posisi bulan harus berada di atas 2 derajat (menggunakan teleskp dan alat bantu lainnya). Ada juga yang memberikan syarat 6 hingga 7 derajat.  

Alasan lain menurut Muhammdiyah:

1.      Hisab lebih memberikan kepastian dan bisa menghitung tanggal jauh hari ke depan,
2.      Hisab mempunyai peluang dapat menyatukan penanggalan, yang tidak mungkin dilakukan dengan rukyat. Dalam Konferensi Pakar II yang diselenggarakan oleh ISESCO tahun 2008 telah ditegaskan bahwa mustahil menyatukan sistem penanggalan umat Islam kecuali dengan menggunakan hisab.

Ada juga yang menggunakan dalil langsung dari Al-Quran untuk menguatkan metode hisab pada penetapan Idul Fitri yaitu “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Yunus : 5).

Sementar NU sendiri menggunakan hisab hanya untuk menentukan perkiraan posisi bulan pada tanggal yang di tentukan, hasil akhirnya tetap pada rukyah atau melihat secara langsung.

Oleh karena itu, walaupun secara perhitungan posisi bulan akan di bawah 2 derajat (sulit untuk di lihat langsung), pihak NU tetap melakukan rukyah, karena itu metode yang di dilakukan Rasulullah di masanya.

Lalu mana yang benar, anda nilai sendiri……

Masalah Mathla’ (tempat muncul hilal) dan Persilihan Tentangnya

Hal ini juga menjadi masalah mendasar mengapa penetapan Idul Fitri bisa berbeda. NU menilai perbedaan penetapan Syawal di beberapa negara merupakan hal yang wajar, hal tersebut di karenakan rukyah di antar negara berbeda beda, artinya tiap wilayah mempunyai rukyahnya sendiri sendiri, sebagaimana hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhum yang berbunyi :

"Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadll bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata : "Aku sampai di Syam kemudian aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum'at.Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku - kemudian dia sebutkan tentang hilal -- : 'kapan kamu melihat Hilal?' Akupun menjawab : 'Aku melihatnya pada malam Jum'at. Beliau bertanya lagi : 'Engkau melihatnya pada malam Jum'at ?' Aku menjawab :'Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah.' Dia berkata : 'Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal).'Aku bertanya : 'Tidakkah cukup bagimu ruyah dan puasa Muawiyyah ?' Beliau menjawab : 'Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.'"
(HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021.Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di Shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213)

Dan ini di pegang oleh kebanyakn pengikut mazhab Imam Syafi’i.

Sedangkan pendapat kedua mengatakan kalau apabila suatu negeri melihat hilal , maka seluruh negeri harus mengikutinya, pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma' telah menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru'yah tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol).

Untuk jelasnya bisa baca di Masalah Mathla’ dan Persilihan Tentangnya


0 comments:

Post a Comment


 
Support : Copyright © 2013. WIKI ASIA - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger