Suamiku, kok begini? Istriku, kok begitu? Coba hitung baik-baik, seberapa sering dan banyak Anda mengeluhkan kekurangan pasangan?
Hati-hati, jika termasuk orang yang selalu mengeluhkan pasangan. Karena bisa jadi, yang Anda keluhkan adalah diri Anda sendiri. Percaya, deh.
What You Get Is What You Give
Anggia Chrisanti Wiranto, konselor dan terapis EFT (emotional freedom technique) di biro psikologi Westaria (www.westaria.com), menyarankan untuk tidak pernah bertanya, apalagi mengeluhkan tentang pasangan kita. Tentu pasangan di sini adalah yang Anda nikahi setelah melewati fase berkenalan dan jatuh cinta. Bagaimana pun, sosoknya yang terbaik yang bisa kita “dapatkan”. “Apa yang kita dapatkan, maka itu (hampir) sesuai dengan apa yang bisa kita berikan atau miliki (kualitas individu),” kata Anggia. “Dalam Islam bahkan kita mengenal istilah 'perempuan baik untuk laki-laki baik,’ begitupun sebaliknya,’” jelasnya.
Misalnya, kita mengeluhkan pasangan yang ternyata diketahui tukang bohong. Paling mungkin, kita tukang bohong juga. Sama seperti pasangan yang kita keluhkan. “Catatan, bohong tidak selalu dan sesempit itu. Bisa saja, kita termasuk orang yang suka berkata manis padahal kenyataannya tidak atau hanya dengan tujuan menyenangkan orang lain. Itu sama saja bohong, kan?” papar Anggia.
Ubah Diri, Sebelum Mengubah Pasangan
Pekerjaan yang sulit adalah mengubah orang lain. Untuk hal yang sangat kecil dan sederhana sekalipun. Jadi yang bisa dilakukan adalah mengubah diri sendiri, jika merasa ada atau banyak kekurangan pada diri kita sendiri. “Relationship atau hubungan laki-laki dan perempuan itu seperti cermin. Memantulkan bayangan yang sama dengan obyeknya. Maka, saat kita menjadi lebih baik, niscaya, pantulan bayangan pun akan menjadi baik. Dengan cara yang mungkin tidak kita sangka sebelumnya,” urai Anggia.
Terkadang, pasangan kita selama ini sesungguhnya sudah baik kualitas dirinya. Justru karena diri kita yang masih belum baik, ibarat becermin pada kaca buram. “Sebaik apa pun obyeknya, sebersih apa pun dia, tapi karena ‘cermin’ yang kita pakai buram, maka kita akan melihatnya buram. Bukan karena obyeknya, tapi karena cermin yang kita pakai,” Anggia menuturkan. Akhirnya, hidup tidak melulu tentang baik dan tidak baik, melainkan adanya nilai “kepantasan”. Karena kepantasanlah yang membuat keindahan. “Pantaskah dia bersama kita? Dan juga tanyakan, pantaskah saya bersama dia? Maka pantaskanlah diri, niscaya kita akan mendapatkan kepantasan dalam hubungan kita,” pungkasnya.
0 comments:
Post a Comment