Pengakuan Gadis yang 2 Kali Melakukan Aborsi – Mungkin kita semua sudah tidak asing lagi mendengar atau membaca berita di media baik itu media online maupun televise mengenai aborsi ilegal yang dilakukan para gadis belia. Hal tersebut memang tidak lepas dari perilaku seks bebas yang kini semakin liar.
Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, sebanyak 32 persen remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota besar di Indonesia pernah berhubungan seks dan 21,2 persen remaja putri di Indonesia pernah melakukan aborsi.
Perlu di ketahui, sebagaimana yang diterangkan oleh Dr R. Muharam, SpOG dari RS Cipto Mangunkusumo, rasa sakit yang muncul akibat aborsi lebih sakit daripada melahirkan/
Perlu di ketahui, sebagaimana yang diterangkan oleh Dr R. Muharam, SpOG dari RS Cipto Mangunkusumo, rasa sakit yang muncul akibat aborsi lebih sakit daripada melahirkan/
Sementara itu secara keseluruhan (tidak dibatasi umur), berdasarkan survei yang dilakukan BKKBN pada akhir 2008 menyatakan, 63 persen remaja di beberapa kota besar di Indonesia pernah melakukan seks pranikah.
Kondisi ini diperparah dengan maraknya anjuran penggunaan kondom (walaupun secara tidak langsung), sesuatu yang kita senua tahu hal tersebut tidak dapat menyelesaikan seks bebas di kalangan remaja kita.
Sari (bukan nama sebenarnya), seorang perempuan lajang yang bekerja di sebuah kota di Pulau Jawa berkenan menceritakan pengalamannya menggugurkan kandungan semasa remaja. Semoga pengalamannya bisa menjadi pembelajaran, dan untuk orang tua yang mempunyai anak ABG, bisa share informasi ini untuk anda anda.
Berikut Pengakuan Gadis yang 2 Kali Melakukan Aborsi
(Sumber: http://health.detik.com)
Umur saya baru 17 tahun saat baru awal-awal kuliah, ketika pertama kali saya menyadari menstruasi saya sudah terlambat 1 bulan. Kurang lebih itu 6-7 tahun yang lalu. Hasil testpack menunjukkan bahwa saya positif hamil, dan itu berarti usia kandungannya sudah sekitar 6-7 minggu kalau dihitung dari kemungkinan saya dibuahi. Orang pertama yang tahu adalah pacar saya, karena kami membaca testpack bersama-sama.
Sebenarnya pacar saya ingin kehamilan itu dilanjutkan dan dia pun mengajak saya menikah. Tapi bagi saya saat itu, menikah bukan solusi dan tidak akan pernah menjadi jalan keluar dari masalah apapun juga. Saya tidak ingin melanjutkan kehamilan ini. Akhirnya pilihan untuk melakukan induksi haid --saya kurang suka istilah aborsi-- adalah murni keputusan saya sendiri, tidak ada paksaan dari siapapun.
Saya pun mendatangi sebuah klinik terpercaya dengan dibantu oleh rekan yang kebetulan juga pernah melakukan induksi haid. Kondisinya agak berbeda karena dulu rekan saya itu melakukannya dengan status sudah menikah, sehingga urusannya jauh lebih mudah karena bisa menggunakan alasan medis walaupun itu juga cuma dibuat-buat.
Yang jelas urusan saya lebih ribet, karena saya belum menikah dan pada akhirnya saya harus berbohong pada konselornya. Saya bilang bahwa saya terpaksa harus melakukan induksi haid karena ditinggal pergi pacar saya.
Konselor di klinik tersebut sepertinya tidak berusaha menelisik kebenaran pengakuan saya maupun mengubah keputusan saya, mungkin karena melihat tekad saya sudah bulat. Ia cuma memastikan kondisi saya baik-baik saja dan sudah paham konsekuensinya, serta berulang-ulang menegaskan agar kesalahan ini tidak terulang lagi. Saya iyakan saja biar urusannya cepat selesai.
Akhirnya beberapa hari kemudian saya dikuret, dengan total biaya mencapai Rp 1,8 juta. Beberapa minggu berikutnya, saya kontrol lagi dan dipastikan saya baik-baik saja. Secara fisik baik-baik saja, tetapi secara mental masih tetap menyesali kenapa harus hamil.
Saya tahu dari pelajaran biologi di SMA bahwa hubungan seks bisa menyebabkan kehamilan, tetapi sedikitpun tidak terbayang bahwa kehamilan itu akan terjadi pada saya sendiri di usia sedini itu. Bagian itu yang paling saya sesali, lebih saya sesali daripada induksi haidnya itu sendiri.
Di sisi lain, pacar saya juga tidak lebih cerdas. Ia masih percaya mitos-mitos, termasuk menyuruh saya untuk pipis setelah berhubungan seks agar tidak hamil. Bukti bahwa untuk urusan seks, kami berdua sama sekali tidak tercerahkan dengan pelajaran biologi saja.
Lalu kehamilan berikutnya terjadi lagi 1-2 tahun kemudian saat umur 20 tahundengan pacar saya itu. Saya tidak ingat persis jarak waktunya, but it was terribly wrong! Even donkey won't fall on the same hole! Pada titik ini saya merasa bego, mengaku banyak membaca tetapi kelakuannya tidak konsisten dan sangat kompulsif. Mau enaknya saja.
Kali ini saya benar-benar tidak berani, terlalu malu untuk datang ke klinik itu lagi. Untungnya karena ini kehamilan kedua, secara mental saya sudah bisa lebih tenang, secara fisik tubuh saya juga lebih kuat dan tidak dibebani oleh ngidam atau segala macam seperti halnya pada kehamilan pertama. Kami pun coba-coba menghubungi layanan terlambat haid yang diiklankan di koran-koran.
Sambil terus mencari, seorang teman menyarankan agar saya minum obat peluruh haid. Saya coba minum obat bermerek 'C' tersebut dan memang muncul flek dalam beberapa hari berikutnya. Tapi karena sepertinya tidak tuntas, saya makin mantap untuk mencari layanan induksi haid. Pertimbangan saya waktu itu, kalaupun kehamilan ini mau dilanjutkan maka anak saya pasti cacat karena saya sudah berusaha menggugurkannya dengan obat.
Akhirnya kami menemukan seseorang yang bisa melakukan induksi haid, dan inilah bagian yang paling menegangkan. Orang tersebut menyuruh kami datang ke sebuah tempat dan dia akan menjemput naik mobil. Di tempat yang ditentukan, rupanya sudah ada pasangan lain yang juga menunggu dijemput. Yang perempuan tampak tegang, lalu naluri saya menggerakkan agar kami berdua berpegangan tangan dan saling menguatkan.
Suasana makin mencekam ketika mobil jemputan datang, sebab kami diminta untuk memakai penutup mata. Laki-laki tidak boleh ikut, hanya kami para perempuan yang diangkut dengan mobil. Entah kenapa kami menurut, lalu dengan mata tertutup kami menempuh perjalanan selama kurang lebih 1,5 jam.
Kami berdua tidak tahu sedang berada di mana saat mata kami dibuka, yang jelas di situ ada seorang perempuan yang mengaku sebagai bidan. Dia mengatakan bahwa prosedur yang akan ia lakukan berbeda dengan kuret yakni dengan membuat pecah ketuban dengan minum obat, sehingga kandungan akan luruh secara alami. Biayanya sebesar Rp 3,5 juta dibayar saat itu juga, lalu kami pulang dengan dibekali obat.
Malam harinya perut saya luar biasa sakit, sesuai kata bidan tadi bahwa akan terasa sakit seperti mau melahirkan. Saya pun mengikuti sarannya untuk buru-buru ke kamar mandi, dan yang keluar pertama kali adalah ari-ari! Seperti tersangkut tetapi saya tidak berani menariknya keluar. Tak lama kemudian keluar bulatan bening, semacam daging yang saking kecilnya langsung masuk toilet. Bagian inilah yang paling membuat saya trauma kalau ingat.. (menangis).
Secara psikologis saya juga makin terbebani karena tindakan induksi haid yang kedua ini saya lakukan secara diam-diam, tanpa didampingi konselor. Kesembunyi-sembunyian ini yang seolah makin menegaskan pada diri saya sendiri bahwa tindakan ini salah.
Belum habis siksa batin yang harus saya alami. Jika seusai induksi haid pada kehamilan yang pertama saya melakukan kontrol di klinik yang sama, kali ini si bidan tidak menawari kontrol dan kalaupun ditawari saya juga tidak tahu tempatnya karena waktu itu saya datang dan pergi lagi dengan mata tetutup.
Akhirnya saya berinisiatif kontrol sendiri ke seorang dokter kandungan yang cukup senior, tampak dari gelar profesor yang melekat di depan namanya. Sayang kepintaran sang profesor tidak membuatnya lebih punya empati. Kepada saya yang datang dalam kondisi kalut, ketakutan karena jangan-jangan induksi haidnya tidak tuntas, profesor brengsek itu malah menunjukkan sikap menghakimi dan membuat mental saya makin berantakan. Dia bilang, "Kamu itu berdosa, salah. Rahim kamu berlipat. Cepatlah menikah nanti tidak ada lagi yang mau sama kamu."
Pak profesor bahkan tidak menjelaskan kondisi saya yang sebenarnya. Apa itu rahim berlipat? Dari dokter kandungan lain yang lebih ramah, barulah saya tahu bahwa lipatan itu adalah kista. Menurut dokter saya yang kedua ini, memang ada kemungkinan kista akan mengecil jika seorang perempuan hamil dan punya anak.
Sang gadis yang kini berusia 27 tahun itu mengaku sesekali masih mengalami trauma jika ingat dengan kejadian itu. Dengan mental yang sempat drop, ia berhasil menamatkan kuliahnya hingga bisa bekerja.
Penyesalan yang dalam terus menggelayut di hidupnya. Hingga kini keluarganya tak pernah tahu bahwa sang gadis pernah melakukan aborsi. Si gadis yang dari keluarga baik-baik ini juga terlihat dari luar sangat normal pergaulannya.
0 comments:
Post a Comment