Opoae ~ MENDENGAR kata dakwah mungkin bagi sebagian kita sudah membayangkan seseorang naik mimbar, podium, panggung lalu berbicara di depan orang banyak.
Ya, mungkin itulah sebuah opini pemikiran yang lazim kita temukan sekarang. Atau pun istilah ngetren sekarang, ada ustadz gaul, ustadz cinta, dan sebagainya
(aduh ntah apa itu).
Tapi disini bukan mau ngedikte para pembaca kok, judul di atas memang nyentrik dengan harapan setelah membaca ini bisa menjadi konstruksi pemikiran dan wawasan kita tua dan muda untuk mengenal dan lebih dekat dalam berdakwah. Tulisan kali ini memang inspirasi dari khutbah jum’at, biar pun waktunya singkat namun cukup mengena dengan topik yang sudah sering kita dengar seperti di atas.
Dalam hidup ini kita memang butuh nasehat dan saling menasehati, begitu juga halnya dalam berdakwah. Dakwah itu sendiri tentunya mengajak untuk berbuat makruf dan mencegah untuk hal-hal yang mungkar pastinya. Mengenal muda-mudi serta generasi Aceh saat ini sungguh beragam, berbagai kesibukan orang tua kadang sering luput dalam mengajari anaknya sendiri. Maka dari itu jangan heran banyak dari generasi terpengaruh dengan ‘dakwah luar’ selain dari Islam.
Kalau sekarang kita mengenal banyak penceramah di Aceh dan sampai dibuat dalam rekaman seperti video dan audio, namun jangan salah buat kita yang muda-mudi gak harus pintar ngomong seperti para da’i/penceramah itu kok.
Sejenak kita lihat dulu deh firman Allah berikut ini yang artinya, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran [3] : 104).
Jika kita membaca dengan seksama dan tahu akan ayat tersebut, tentu disana disebut segolongan umat. Tentu kita tahu umat mana yang diseru untuk mengerjakan kebajikan tersebut. Apalagi jika ayat di atas kita sokong dengan ayat selanjutnya lagi, dimana Allah berfirman, “Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi manusia, kalian menyuruh (berbuat) kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran dan kalian beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran [3] : 110).
Jadi, dalam hidup bermasyarakat kita pasti punya yang namanya pemimpin. Dimana pemimpin juga mempunyai tanggung jawab yang diamanahkan lebih besar dari sekedar masyarakat biasa, mulai dari kepala keluarga paling kecil, terus kepala desa (keuchik), mukim, dan seterusnya.
Namun, dari setiap kita itu sebenarnya pemimpin, maka dari setiap pemimpin itu adalah da’i bagi diri sendiri setidaknya. Kita tidak perlu bersusah payah memikirkan kenapa para penceramah/da’i selalu sibuk menasehati orang lain, sibuk mengajari dan mengingatkan orang lain, sibuk ngomong sana sini, tapi tanpa sadar kadang kita belum pernah satu kata pun mengingatkan diri sendiri. Dalam khutbah singkat ini, salah satu hadis Nabi saya lupa lengkapnya ada sebuah perumpaan untuk kita dalam menyikapi diri dengan sesama dalam mengingatkan untuk berdakwah.
Misalnya kita sering duduk bersama teman sejawat atau kerabat di warung kopi, salah satu dari teman kita itu jarang atau bahkan tidak ke mesjid hari jum’at, tentu ada cara tersendiri untuk menanyakan kenapa dia jarang ke mesjid dengan cara kita, tidak harus kasih dalil atau hadist –yang bisa memberatkan kita– untuk mengajaknya berbuat makruf.
Sudah kebayangkan, apa yang kita lakukan sama teman di warkop itu sudah masuk berdakwah lho, memang terkesan simpel tapi yakinlah itulah cara yang bisa kita lakukan dalam sehari-hari.
Ada juga pendapat begini, yang konon sering disebut nafsi-nafsi. Buat apa ingatin orang lain, diri sendiri aja belum beres dalam beribadah atau beragama, sok munafik, sok suci, dan lain yang kerap kita dengar dalam masyarakat hal-hal senada seperti itu malah yang lebih parah ada yang mengatakan yang melihat kemaksiatan malah mendumel itukan urusan keuchik, WH, atau siapalah yang disalahkan.
Sungguh disayangkan sekali jika pemikiran seperti itu masih saja menjadi belenggu bahwa tidak ada kewajiban bagi orang yang berpikir nafsi-nafsi ini untuk berdakwah, padahal bagi sesama muslim itu adalah saudara.
“Seorang mukmin itu terhadap mukmin yang lain adalah laksana bangunan, yang sebagiannya mengokohkan sebagian yang lain”. (HR Bukhari dan Muslim)
Coba bayangkan, ada sebuah kapal dimana setiap penumpang pasti akan memasukinya dengan tempat masing-masing yang ada di dalamnya. Ada yang di atas dek, di tengah, bahkan di bawah (dek yang paling dasar). Umpama dek kapal ini bagaimana tingkatkan kita dalam ilmu dan beragama, tentunya orang yang berilmu banyak dan agama akan berada di atas, lalu rakyat jelatan yang biasa-biasa saja ada di bawah.
Maka dari itu orang-orang yang ada di atas sesekali dan kerap harus peduli dengan orang di bawah (dek bawah) saling menasehati, saling menghargai, tidak membiarkan dalam kebodohan dan sebagainya. Apa jadinya jika orang di dek bawah mengambil air laut lewat ngebor dinding kapal, jika tidak diajari tentu kapal bisa karam dan semua penumpang akan tenggelam. Begitu juga sebaliknya, ketika orang-orang di atas mengingatkan orang di bawah untuk tidak boleh sembarangan, punya cara dan trik tertentu.
0 comments:
Post a Comment