Opoae ~ Aminah Assilmi, mantan jurnalis penyiaran ini harus membayar mahal keislamannya. Ia diceraikan oleh suaminya, kehilangan pekerjaan dan hak asuh atas kedua anaknya, serta ditinggalkan teman-temannya. Bahkan, ayahnya mengatakan ia layak dibunuh.
Tapi, Aminah tak mundur selangkahpun, dan Allah mengembalikan semuanya berlipat ganda. Tak hanya mendapatkan kembali kepercayaan dan penerimaan dari orang-orang terdekatnya, Aminah bahkan dapat kembali memeluk orang-orang terdekatnya sebagai saudara sesama Muslim. Menjadi ketua Persatuan Wanita Muslim Internasional dan masuk dalam daftar 500 Muslim paling berpengaruh dunia pada 2009 adalah hadiah lain atas keteguhan hatinya.
***
Semua berawal dari kesalahan yang tak mampu ia hindari pada 1975 silam. Tahun itu menjadi tahun pertama penggunaan komputer untuk pemrograman mata kuliah di kampusnya. Tak disangkanya, terjadi kesalahan sehingga komputer memasukkan Aminah dalam mata kuliah yang tak pernah dipilihnya; Teater.
Sayangnya, Aminah baru mengetahui kesalahan itu setelah hari aktif perkuliahan memasuki minggu kedua karena harus mengurus bisnis keluarganya di Oklahoma. Perubahan tak bisa dilakukan. Dan Aminah yang berkuliah dengan beasiswa penuh tak mungkin meninggalkan kelas itu dan memperoleh nilai 'F' yang akan membatalkan beasiswanya.
Aminah adalah perempuan cerdas yang selalu tampil menonjol. Selain memperoleh beasiswa untuk kuliahnya, jemaat Southern Baptist (aliran gereja Protestan terbesar di Amerika Serikat) ini bekerja sebagai jurnalis penyiaran dan memenangkan penghargaan yang diperuntukkan bagi para profesional.
“Namun satu hal lain tentang diriku adalah bahwa aku seorang yang pemalu,” katanya. Karena itulah, Aminah merasa kacau ketika harus mengikuti kelas yang mengharuskannya tampil di hadapan sejumlah orang.
Atas saran suaminya, Aminah memilih mencari solusi daripada mengorbankan beasiswanya. Ia mendatangi dosennya untuk meminta saran dan bantuan terkait perencanaan pertunjukan yang harus ia tampilkan. Sang dosen menyanggupi dan Aminah segera menuju kelas Teater untuk pertama kalinya.
Di pintu kelas, Aminah tak mempercayai pandangannya. “Aku melihat sejumlah orang Arab (Muslim) di sana. Tak ada yang terlintas dalam benakku kecuali membatalkan niatku mengikuti kelas itu. Aku tidak mungkin berada di antara orang-orang kafir itu,” kisahnya dalam buku 'Choosing Islam' yang ditulisnya.
Tanpa pikir panjang, Aminah kembali menutup pintu kelasnya dan berjalan pulang. Di rumah, ia kembali ditenangkan suaminya. “Ia bilang, ‘Mungkin Tuhan punya rencana di balik ini’.”
Dua hari lamanya Aminah berdiam dalam kamarnya. Setelah berpikir panjang, ia membenarkan kata-kata suaminya dan berpikir mungkin dalam kelas Teater itu ia bisa mengkristenkan orang-orang berhijab di kelasnya.
Maka, Aminah mulai berbicara banyak hal tentang Kristen dan Yesus pada teman-teman Muslimnya, dan mengatakan mereka akan masuk surga jika mempercayai Yesus sebagai Tuhan dan juru selamat mereka. “Mereka menyikapi penjelasanku dengan sangat sopan, namun tak satupun dari mereka masuk agamaku,” ungkap Aminah.
Aminah tak menyerah. Ia pun berencana mencari kelemahan dan kesalahan Islam, yakni dengan mempelajari kitab mereka. Dari salah seorang temannya, Aminah mendapatkan salinan Alquran. Ia tekun membaca dan mempelajarinya setelah itu, dan membuat catatan-catatan mengenai hal-hal dalam Alquran yang dapat diperdebatkan. “Niatku masih sama, mengkristenkan mereka,” tegas dia.
Tanpa ia sadari, keseriusan Aminah mempelajari Alquran justru membawa perubahan pada dirinya. Ia tidak lagi tertarik untuk pergi ke pesta dan klub-klub malam, aktivitas yang biasa ia lakukan bersama suaminya. “Suamiku menaruh curiga dan mengira aku selingkuh. Lalu ia mengusirku dari rumah,” jelas dia.
Setelah berpindah ke apartemen yang baru bersama kedua anaknya, misi Aminah tak berubah. Ia terus mendalami Alquran untuk mengkristenkan teman-teman Muslimnya di kelas Teater.
Satu setengah tahun sejak mulai mempelajari Al quran, pada 21 Mei 1977, seseorang mengetuk pintu apartemennya. Aminah terkejut mengetahui tamunya adalah seorang pria dengan pakaian panjang berwarna putih, dengan kain surban di kepalanya. Pria itu didampingi tiga orang pria lain, pria itu mengatakan, “Saya tahu Anda ingin menjadi seorang Muslim.”
Aminah membantahnya dan mengatakan dirinya adalah seorang Kristiani yang tidak pernah berkeinginan masuk Islam. “Namun kukatakan padanya bahwa aku memiliki beberapa pertanyaan jika ia tidak keberatan.” Maka Aminah mempersilahkan keempatnya masuk.
Aminah mengeluarkan catatan-catatan yang telah dibuatnya dan menanyakannya pada pria yang mengaku bernama Abdul Aziz al-Shiek itu, yang sabar menjawab semua pertanyaan Aminah. “Pria itu menjelaskan, mencapai pengetahuan tentang segala sesuatu adalah seperti menapaki anak-anak tangga. Jika aku melangkah tergesa-gesa dan melewati beberapa anak tangga sekaligus, aku bisa jatuh.”
Setelah berbincang dan mendiskusikan banyak hal, di hari yang sama, Aminah mengambil keputusan besar. Ia bersyahadat di hadapan keempat tamunya. “Namun aku belum bisa menerima beberapa hal dalam Islam, sehingga di belakang dua kalimat syahadat yang kuucapkan, aku menambahkan pengecualian, ‘Tapi aku tidak akan mau menutup rambutku dengan kerudung dan tidak akan pernah setuju dengan poligami',” kenangnya.
Namun di atas semua, kata Aminah, syahadat yang diucapkannya hari itu menjadi langkah awal yang mengubah hidupnya. “Islam adalah hidupku. Islam adalah detak jantungku, darah yang mengalir di pembuluh venaku. Islam adalah kekuatanku, yang membuat hidupku begitu indah dan mengagumkan. Tanpa Islam, aku bukanlah apa-apa," katanya seperti dikutip laman www.welcome-back.org.
Aminah terus mendalami Islam, dan menjadi aktivis Islam yang giat berdakwah hingga akhir hayatnya. Dua tahun lalu, 5 Maret 2010, sebuah kecelakaan mobil di New York menewaskan perempuan luar biasa ini, dalam sebuah perjalanan pulangnya usai menyampaikan pesan tentang Islam.
0 comments:
Post a Comment